Nama-Nama Orang Ciamis yang Nyaris Punah

Berlebihankah jika dikatakan bahwa sebagian dari khazanah nama orang Ciamis akan punah? Mungkin tidak juga, sebab penggunaan mama-nama tersebut nyaris tidak pernah dilirik para orang tua lagi. Mengapa?

Sebagian pengamat mengatakan bahwa mode adalah sesuatu yang berputar, seperti siklus yang akan kembali ke tempat asal. Mode busana misalnya, akan kembali mengangkat tema-tema lama menjadi desain yang sedang in. Lagu-lagu lama juga kerap di-recycle sehingga menjadi hits lagi. Apakah hal itu akan terjadi pada nama-nama orang Ciamis?

Agak sulit membayangkan bahwa ditengah 'gempuran' penggunaan nama-nama bernuansa timur tengah, barat dan lainnya, yang terkadang sulit untuk dilafalkan, akan muncul lagi trend penggunaan nama orang Ciamis versi 'jadoel'.

Berikut ini beberapa nama yang berhasil dikumpulkan oleh para kontributor www.ciamismanis.com di laman fb CIAMIS: Imi, Onoh, Akid, Sudinta, Ju'en, Encur, Dasih, Engkar, Engkim, Asnawi, Dalimi (dari Kang Eben); Dasimi, Sarkum, Miskum, Su'eb, Cartam, Warso, Warca, Suiti, Abdul Rami (dari Kang Fandi); Acih, Ooy, Encih (dari kang Yadi); Oyo, Dede, Wastam, Rasta, Wastaljumanta, Warsih, Carsih, Karsih (dari Kang Ade); Saodah, Acah, Rukmini, Jawile​m, Asnawi, Astawiayasan (dari Kang Jajaka Gegempalan); Juma, Astrayuda, Jumanta (dari Kang Haris).

Mengapa nama-nama tersebut jarang atau hampir tidak pernah digunakan lagi oleh orang Ciamis? Paling tidak ada beberapa alasan:

Pertama, adalah trend-nya memang sedang bergerak ke pemberian nama anak dengan nama-nama 'impor' dari luar, baik barat maupun timur. Hal ini sebenarnya positif saja, apalagi nama-nama yang disematkan pada buah hati juga memang memiliki makna yang baik. Sebuah nama adalah do'a, demikian kata orang bijak.

Kedua, masalah gengsi. Rasanya pemberian nama yang 'terlalu jadul' akan menurunkan gengsi orang tua yang bersangkutan, karena memberikan nama yang 'memalukan' atau ketinggalan jaman. Hal ini tidak berlaku bagi para orang tua yang memiliki keyakinan dan idealisme tinggi. Misal saja, seandainya ada orang tua yang memilih tetap menamai anaknya 'Rasta', karena selain berasal dari khazanah nama orang Ciamis jaman dulu, ternyata 'kebarat-baratan' :)

Ketiga, masalah dampak psikologis. Hal ini terutama berkait dengan anak yang diberi nama, karena mungkin akan kurang nyaman ketika dalam sebuah antrian absen pagi di sekolah, terjadi penyebutan, "Ida, Dewi, Siska, Nirmala, .... Acih..." atau, "Fredy, Dadan, Romeo, Ariel,... Jumanta..." atau "Jawilem..." Dalam perspektif sekarang, pemberian nama-nama buhun mungkin akan sedikit menyebabkan kurang nyaman, terlepas dari baik tidaknya nama tersebut.

Apakah nama-nama buhun orang Ciamis akan hilang? Belum tentu juga! Sebenarnya diferensiasi adalah salah satu strategi mutakhir untuk marketing, itu kata orang pemasaran. Jadi, mungkin saja suatu saat nama-nama itu akan kembali berkibar, meskipun dalam 'wujud lain'.

Siapa tahu dominasi Dewi Persik dan Julia Perez akan digeser suatu saat oleh Acah Koceak, atau Warsih Gelenyu? Atau mari kita nantikan kemunculan band-band papan atas Indonesia yang berasal dari Ciamis: Jumanta Band, Jawilem Hardrock, atau yang lainnya...

0 komentar:

Post a Comment