Asal Usul Nama Kawali

Cerita asal-usul nama Kawali berkaitan dengan kisah Ciung Wanara dan Kerajaan Galuh yang dimuat dalam sumber naskah maupun tradisi lisan masyarakat Galuh. Sumber naskah yang memuat cerita itu, antara lain Wawacan Sajarah Galuh, seperti yang dimuat pada laman unpad.ac.id.

Dalam naskah tersebut diceritakan tentang seorang Raja Bojong Galuh (palsu) bernama Ki Bondan yang menyuruh seorang pandita sakti bernama Ajar Sukaresi, untuk menaksir bayi yang dikandung oleh istrinya, Nyai Ujung Sekarjingga. Sang Raja ingin tahu apakah anaknya laki-laki atau perempuan.

Sebenarnya, Raja tersebut hendak menipu Ajar Sukaresi, karena sebenarnya perut Nyai Ujung Sekarjingga terlihat besar disebabkan oleh kuali yang ditaruh di dalamnya, bukannya karena sedang hamil. Sang pandita yang sakti mengetahui niat buruk sang raja, dan ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar diberikan pertolongan.

Ia kemudian berkata bahwa anak yang sedang dikandung permaisuri adalah laki-laki. Raja menganggap jawaban pandita bohong sehingga orang tua tersebut harus dihukum. Pakaian Nyai Ujung Sekarjingga kemudian dibuka untuk membuktikan keyakinan Raja atas muslihatnya. Ternyata kuali yang dipasang di perutnya tidak ada dan Nyai Ujung Sekarjingg benar-benar mengandung.

foto: blogs.unpad.ac.id
Raja menjadi marah disertai malu menyaksikan kejadian itu. Pandita itu disuruh pulang, tetapi secara diam-diam raja memerintahkan Patihnya untuk membunuh sang pandita.

Kuali pada perut Nyai Ujung Sekarjingga sesungguhnya ditendang secara gaib oleh Ajar Sukaresi. Kuali itu kemudian jatuh di Kampung Selapanjang sehingga namanya diganti menjadi “Kawali” (kini terletak sekitar 11 km di sebelah utara Kota Ciamis). Adapun anak laki-laki Nyai Ujung Sekarjingga kemudian bernama Ciung Wanara.

Menurut cerita rakyat, tempat jatuhnya kuali itu menjadi mata air dan kolam yang disebut “Balong Kawali” atau “Cikawali”, yang sekarang termasuk dalam lingkungan Situs Astana Gede Kawali.

Ajar Sukaresi yang hendak dibunuh oleh utusan raja, pada awalnya tidak dapat dilukai karena kesaktiannya. Namun, ia akhirnya merelakan dirinya dibunuh. Dengan tubuh penuh luka, Ajar Sukaresi berjalan hendak kembali ke pertapaannya di Gunung Padang.

Dalam perjalanannya, luka Ajar Sukaresi mengeluarkan darah berwarna kuning di suatu tempat. Tempat itu kemudian disebut “Cikoneng”. Setelah lama berjalan, Ajar Sukaresi tergolek di atas tanah. Tempat ia tergolek itu kemudian disebut “Cikedengan”.

Ia kemudian berjalan lagi, tetapi jatuh lagi dan mengeluarkan darah yang berwarna bening. Daerah itu kemudian dikenal dengan nama “Ciherang”. Akhirnya, sampailah Ajar Sukaresi di pertapaannya.

0 komentar:

Post a Comment