Sejarah Snouck Hurgronje di Ciamis (2)


Tulisan ini merupakan penggalan kedua dari tulisan lengkap mengenai sejarah Snouck Hurgronje di Ciamis, sambungan dari bagian pertama yang kami terbitkan beberapa waktu kebelakang. Tulisan lengkapnya pernah dimuat dengan judul Tentang Keris Ketemu Tutup pada majalah-tempointeraktif. Semoga bermanfaat untuk penambah wawasan sejarah kita.

TEMPO kemudian menemui Tayo Jayakusuma, cucu Bupati Raden Kusumasubrata, yang kini menjadi anggota Komisi B DPRD Kabupaten Ciamis. Informasi seputar Snouck, menurut Tayo, agak sukar dilacak karena memang ada upaya Snouck menutup-nutupi perkawinannya dengan menak Sunda. "Saya hanya pernah diberi tahu oleh ibu saya bahwa ada cucu Snouck di Ciamis," kata Tayo.

Ihwal tutup-menutup ini juga dibenarkan oleh sejarawan Nina Herlina Lubis. Menurut Nina, Snouck pernah mengeluarkan surat wasiat yang tidak boleh dibuka selama 100 tahun sesudah kematiannya (dia meninggal 1936). Surat wasiat itu sampai kini masih tersimpan di KITLT, institut kerajaan tentang ilmu bumi, bahasa, dan antropologi, di Belanda. Kelak, tahun 2036, wasiat Snouck mungkin akan menyingkap banyak rahasia.

Berikutnya, pelacakan berganti pada keturunan Snouck dari garis Siti Sadiah, putri Kalipah Apo, yang tinggal di Jakarta. TEMPO berhasil menjumpai cucu dan buyut Snouck dari Yusuf, anak satu-satunya Siti Sadiah. Yusuf, yang telah wafat 10 tahun silam, diketahui memiliki 11 anak. Yang sulung adalah Edi Yusuf, pemain bulu tangkis nasional.

"Keluarga kami tidak ada yang menyandang nama Hurgronje," kata Iki, putri Edi Yusuf atau cucu buyut dari Snouck. "Bukan karena ada larangan, tetapi karena sejak dulu memang begitu," kata Iki sambil menambahkan bahwa sampai kini keluarga besar keturunan Snouck kerap menggelar pertemuan guna mempererat silaturahmi.

Selain Iki, TEMPO juga berjumpa dengan Nita Kabul, anak kedelapan dari Yusuf.

"Nenek saya sangat mengagumi Snouck," kata Nita. Buktinya, Siti Sadiah (meninggal di tahun 1985) tidak pernah lagi mau menikah dengan orang lain sejak kepergian Snouck ke Belanda. Padahal, ketika itu Siti masih perempuan yang ranum di awal usia 20-an tahun.

Nita juga menuturkan bahwa nenek dan kakeknya rajin saling berkirim surat. Setumpuk surat yang diterima dari Snouck dikumpulkan dalam boks khusus, dan baru dibakar ketika Sadiah berumur 70 tahun. "Saya melihat sendiri ketika surat-surat itu dibakar," kata Nita. Alasannya, tutur Nita, "Nenek sudah merasa tua."

Berikutnya, Nita mengisahkan kedekatannya dengan Sadiah. Di masa kecilnya, saat masih SD, Nita kerap tidur dikeloni, dipeluk sang nenek. Dari kedekatan inilah dia tahu bahwa neneknya adalah istri kedua, di Ciamis, setelah Sangkana. Nita juga mafhum bahwa kakeknya telah menikah lagi dengan perempuan Belanda. "Ayah saya, Yusuf, sering bersurat dengan Christien, saudara tirinya yang ada di Belanda," kata Nita.

Pelacakan pada berbagai dokumen menunjukkan Snouck Hurgronje bukan hanya beristri tiga. Sebelumnya, yakni di Jeddah di tahun 1880-an, Snouck ditugasi pemerintah Hindia Belanda meneliti para mukimin—orang yang tinggal—di Mekah dan Madinah untuk mencari ilmu. Termasuk para mukimin ini adalah orang-orang Aceh yang melakukan perjalanan ibadah haji. Hasil penelitian diharapkan berguna untuk membantu mengatasi perlawanan rakyat Aceh.

Persoalannya, Mekah dan Madinah adalah kota terlarang bagi kaum nonmuslim. Demi kepentingan penelitiannya, Snouck tinggal di Jeddah dan mengaku diri sebagai muslim bernama Abdul Jaffar atau Abdul Ghofar. Dia bahkan menikah dengan perempuan Jeddah. Setelah mendapat pengakuan sebagai muslim, barulah Snouck bisa berlenggang memasuki Mekah dan Madinah.

Adaby Darban, pengajar di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menegaskan bahwa Snouck Hurgronje memang dikenal sebagai ilmuwan yang berdisiplin dan ulet.

Kendati bisa dipesan sesuai dengan kepentingan kolonialisme, sebagai antropolog Snouck meneliti dengan cermat dan mendasar. Dia pun tidak segan menikah dengan gadis-gadis putri tokoh masyarakat setempat. "Cara ini membuat dia bisa diterima sebagai bagian dari masyarakat yang diteliti," kata Adaby. Metode participatory observer, pada akhir abad ke-19, bisa dibilang terobosan di bidang antropologi. Jurus ini memang jitu menghasilkan penelitian yang komprehensif dan menjadikan Snouck sebagai ilmuwan yang disegani.

Dalam perbincangan dengan Nina Herlina Lubis, Romo Zoetmoeldeer, murid Snouck di Yogyakarta, secara berolok-olok menyebut perilaku "nikah demi riset" versi Snouck ini sebagai "mobok manggih gorowong". Perumpamaan Sunda itu kira-kira berarti seperti keris ketemu tutupnya. Klop. (selesai)

0 komentar:

Post a Comment