Nyangku, Mengenang Leluhur Panjalu



Selasa, 19 Agustus 2008 | 21:53 WIB

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.00 saat rombongan masyarakat Panjalu, Kabupaten Ciamis, berjalan kaki menuju Situ Lengkong yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Alun-alun Kecamatan Panjalu.

Dipimpin sesepuh warga Panjalu, Atong Tjakradinata, rombongan itu membawa serta ribuan benda pusaka peninggalan leluhur masyarakat Panjalu, Prabu Sanghiang Borosngora. Borosngora dipercaya sebagai penyebar agama Islam pertama di wilayah Panjalu.

Pusaka dibungkus kain dan digendong bak menggendong seorang bayi. Seni gembyung yang dimainkan sejumlah warga mengiringi perjalanan rombongan. Salah satu pusaka ialah pedang pemberian Sayyidina Ali, sahabat Nabi Muhammad SAW. Pedang itu diberikan saat Borosngora ke Mekkah. Rombongan pembawa pusaka yang berziarah ke makam Hariang Kencana, putra Prabu Sanghiang Borosngora, di Pulau Nusa Gede yang berada di tengah Situ Lengkong.

Kegiatan itu dilakukan setahun sekali pada Senin atau Kamis terakhir bulan Maulud, dan dinamai upacara adat nyangku. Upacara nyangku di Ciamis mirip dengan upacara panjang jimat di Cirebon.

Pada upacara ini pusaka dibawa serta dalam ziarah ke makam leluhur Panjalu di Nusa Gede atau Nusalarang, sebuah pulau di tengah situ yang masih ditumbuhi vegetasi hutan primer yang dibiarkan berkembang alami.

Seusai ziarah, pusaka dibawa menuju alun-alun untuk dibersihkan di depan masyarakat. Setelah itu, pusaka dibawa kembali ke Bumi Alit, sebuah bangunan tempat menyimpan pusaka leluhur Panjalu dan ribuan pusaka milik warga Panjalu.

Tahun ini nyangku dilakukan pada Senin (31/3). Saat itu warga Panjalu dari berbagai daerah datang melihat pusaka leluhurnya yang disimpan di Bumi Alit diperlihatkan dan dicuci. Ini merupakan kesempatan langka.

Perekat persaudaraan

Untuk menuju Nusa Gede rombongan menaiki perahu yang diiringi gembyung, sejenis kesenian rebana. Yang diperbolehkan sebagai pembawa pusaka hanyalah kaum pria keturunan Prabu Borosngora. Mereka pula yang berhak masuk ke bangunan makam.

Usai berziarah rombongan kemudian berkumpul di alun-alun kecamatan. Ribuan pasang mata sejak pagi sudah menanti kedatangan iring-iringan pusaka di alun-alun. Mereka dengan sabar menunggu prosesi pencucian pusaka berlangsung.

Di alun-alun itulah sejumlah pusaka peninggalan leluhur Panjalu dan pusaka milik masyarakat yang dititipkan diperlihatkan dan dicuci di depan masyarakat. Selain dicuci, pembungkus pusaka pun diganti. Pencucian pusaka tersebut harus selesai pada tengah hari. Selepas itu, pusaka dibawa lagi ke Bumi Alit untuk disimpan. Pencucian dilakukan sesuai pesan Borosngora kepada keturunannya. Katanya, jika mereka ingin melihat dirinya, tidak perlu mencari di mana di berada, tetapi hanya dengan melihat benda pusaka peninggalannya.

Sesepuh Panjalu, Atong Tjakradinata, yang juga Ketua Yayasan Borosngora, mengatakan, "Nyangku berasal dari bahasa Arab yaitu yanko, berarti membersihkan. Yang dibersihkan pada upacara itu ialah pusaka Prabu Borosngora pemberian Sayyidina Ali, sahabat Nabi Muhammad SAW. Alangkah baiknya jika orang Panjalu membersihkan pula jiwanya."

Edi Hernawan, putra Atong, mengatakan, nyangku telah menjadi momentum menyambung kembali tali kekeluargaan masyarakat Panjalu. Pada saat nyangku masyarakat Panjalu yang telah tersebar di mana pun pasti datang. Bahkan, kegiatan tersebut telah menjadi momentum silaturahim sesama warga Panjalu selain saat Idul Fitri dan Idul Adha.

Selama ini nyangku dilakukan sehari. Namun, mulai tahun 2009, kegiatan itu akan dilakukan lima hari berturut-turut sehingga akan mendongkrak tingkat kunjungan wisata ke Situ Lengkong Panjalu. Dengan demikian, pendapatan asli daerah dari retribusi wisata diharapkan akan naik.

Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat Ijudin Budhyana, nyangku akan dimasukkan dalam kalender peristiwa kebudayaan. "Kekayaan tradisi ini bisa menjadi daya tarik wisata," ujarnya.

Adhitya Ramadhan - Kompas.com
link artikel : http://www.kompas.com.

0 komentar:

Post a Comment