Para wargi, di Tatar Galuh oge aya tradisi ngabatik anu tos lumangsung ti jaman kapungkur mula. Seueur urang Ciamis anu tinggaleun warta, kirang paos perkawis ieu. Nyanggakeun artikel nu dicutat ti Tribunjabar. Sumangga aos didieu atanapi tiasa dipaluruh di cangreudan ieu. Aos oge artikel pondok ngeunaan Sejarah Batik Ciamis.
Seperti halnya Tasikmalaya dan Garut memiliki tradisi turun temurun dalam sejarah kerajinan batik. Adanya yang menyebutnya sudah ada sejak Kerajaan Galuh berjaya. Tapi, yang pasti, ini sudah berlangsung sejak beberapa abad silam.
MESKI secara geografi, antara Ciamis, Tasikmalaya dan Garut merupakan daerah yang berdekatan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keindahan Tatar Priangan, dalam tradisi kerajinan batik, ketiga distrik tersebut memiliki karakter dan corak batik yang berbeda.
Batik Garut yang dalam kamus perbatikan lebih populer disebut batik garutan lebih menonjolkan penggunaan warga krem dengan motif lereng (rengreng). Sedangkan tradisi batik Tasikmalaya lebih natural dengan pilihan warna dominan merah bata dan motif burung serta kupu-kupu menjadi pilihan.
Cita rasa batik Ciamis lebih sederhana dari batik garutan dan tasikan. Warna hitam dan putih begitu menonjol dengan paduan hitam dan coklat (saga). Pilihan motif daun dan parang rusak menjadi pilihan utama.
Ada yang menyebutnya batik ciamisan ini sebagai batik sarian dengan corak tidak terlalu ramai, simpel, namun elegan.
Batik ciamisan yang tampil sederhana tapi penuh wibawa tersebut sejalan dengan kiblat tradisi batik tulis di Ciamis lebih mengadopsi tradisi batik Yogkarta. Latar belakang sejarah kebesaran Kerajaan Galuh dan Keraton Yogja menjadi pemadu tradisi kedua daerah yang berjauhan ini.
Makanya jangan heran kalau batik tulis ciamisan lebih berkesan menak dengan dua motif utama yakni motif rereng eneng untuk bahan dasar baju dan motif rereng seno yang biasa digunakan untuk samping atau kain.
Memasuki zaman kiwari, tradisi batik tulis dari ketiga daerah tersebut kini nyaris tinggal nama. Kebesaran batik ciamis, batik garutan maupun batik tasikan sudah tenggelam dalam kemajuan zaman, terpuruk oleh kemajuan industri tekstil yang serba cetak termasuk industri batik cetak (printing).
Batik tasikan maupun batik garutan mungkin lebih beruntung, karena masih banyak pewaris tradisi turun temurun yang bertahan. Sisa-sisa aset kejayaan tradisi di Tasikmalaya masih berdiri kokoh seperti Gedung Mitra Batik di Jalan Mitra Batik yang kini sudah menjadi Toserba Yogja. Ada pula TK, SD dan SMK Mitra Batik maupun ruang VIP Mitra Batik di RSU Tasikmalaya. Koperasi Mitra Batik adalah bukti bahwa perajin batik di Tasikmalaya pernah berjaya dan menjadi penggerak ekonomi di kawasan Tatar Sukapura tersebut.
Ciamis sendiri juga pernah menikmati masa-masa jaya tradisi batik tulis seperti halnya Tasikmalaya. Ketika ratusan perajin batik di Tasikmalaya mendirikan Koperasi Mitra Batik pada awal tahun 1939. Para perajin batik di Ciamis juga tak ketinggalan dengan mendirikan koperasi Rukun Batik yang berbadan hukum Oprichtings Acte Batik Cooperatie Rukun Batik. H Abdul Majid, Sasmita, Suganda dan H Tamim, tercatat sebagai pelopor pendirian Koperasi Rukun Batik ini.
Bersama Koperasi Rukun Batik ini ratusan perajin batik di Ciamis menikmati masa jayanya di era tahun 1960-an sampai awal 1980-an. Dari sekitar 1.200 perajin batik yang ada di Ciamis waktu itu sekitar 421 perajin di antaranya menjadi anggota Koperasi Rukun Batik.
Batik hasil perajin di Ciamis dan Tasikmalaya dipasarkan tak hanya di tanah air tetapi juga sampai kenegeri tetangga, semenanjung Malaysia. Batik ciamis pun mampu bersaing di antara dominasi tradisi batik Solo, Yogja maupun batik Pekalongan. Bahkan bersama Koperasi Mitra Batik, Koperasi Rukun Batik merupakan penggagas bedirinya Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI).(andri m dani)
Menjadi Sarang Kapinis
PADA era boom batik tahun 80-an, para perajin batik ciamisan yang bergabung dalam Koperasi Rukun Batik tersebut berhasil membeli sejumlah aset bahkan sampai mendirikan pabrik kain bahan baku batik (cambrice) yang berdiri di Jalan Sudirman No 249 Ciamis. Pabrik ini sekaligus markas Koperasi Rukun Batik sampai sekarang.
Aset lainnya masih banyak berupa sekolah di Cikoneng atau klinik berobat di Imbanagara dan banyak lagi asset lainnya.
Namun sejak berkembangnya batik buatan pabrik (batik printing) dan dominasi warga keturunan dalam tata niaga batik pada tahun 1980-an, pertumbuhan batik ciamisan mulai menunjuk tanda-tanda surut. Terlebih setelah terjadi letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982 yang menyebabkan matahari nyaris tak terlihat selama setahun lantaran debu vulkanik yang tak hentinya menyembur. Para perajin tak bisa menjemur batik hasil gubahan mereka karena tidak cahaya matahari.
Suasana sulit terus berlanjut. Kelesuan membuat satu persatu perajin batik Ciamis menghentikan usaha mereka. Pada tahun 1997, ratusan perajin batik ciamisan resmi gulung tikar akibat krismon. Koperasi Rukun Batik pun oleng. Pabrik cambrice yang berlokasi di Jalan Sudirman Ciamis samping Kantor Samsat Ciamis tersebut sudah lama tak beroperasi.
Untuk tetap eksis, Koperasi Rukun Batik berupaya melakukan diversifikasi usaha, sejumlah usaha yang nyaris tak berurusan dengan batik ditempuh. Seperti beternak sapi potong, menyewakan gudang pabrik jadi gudang cengkeh, dan pada tahun 2005 lalu, halaman pabrik Camrice Rukun Batik di jl Sudirman No 249 Ciamis tersebut disulap jadi rumah petak untuk dikontrakan. Rumah kontrakan di kawasan elit ini menjadi pilihan banyak orang.
Jadilah Koperasi Rukun Batik menjadi bapak kos untuk banyak pengontrak dari berbagai profesi. Halaman luas di depan deretan rumah petak Rukun Batik tersebut pernah ditanami jagung dan cabe. Sementara Poliklinik Berobat di Imbanagara sekarang sudah menjadi komplek pertokoan yang mentereng, sedangkan eks gedung SMP Rukun Batik di Cikoneng di sisi jalan raya Ciamis-Tasikmalaya pernah jadi sarang kapinis.(andri m dani)
Hanya Satu yang Tersisa
MEMASUKI tahun 2000, perajin batik ciamisan yang masih eksis hanya tinggal seorang yakni H. Otong Kartiman (69) yang memiliki pabrik batik dengan bendera Bintang Pusaka di rumahnya di Dusun Ciwahangan Imbanagara.
H. Otong Kartiman mewarisi tradisi membatik ini dari orangtuanya, H. Abdul Majid yang merupakan salah seorang pelopor batik ciamisan pada tahun 1956. Saat itu H. Otong Kartiman masih sekolah di sebuah SMA di Yogyakarta, tapi oleh kedua orangtuanya yakni H. Abdul Majid dan Ny. Hj. Unah Siti Chodijah ia disuruh pulang untuk melanjutkan usaha batik keluarga tersebut.
Sampai kini, dari ribuan perajin batik ciamisan hanya H. Otong Kartiman ini yang masih mencoba bertahan. Ketika menjabat sebagai Bupati Ciamis (1099-2004) H. Oma Sasmita SH MSi pernah mewajibkan para pejabat eselon lingkup Pemkab Ciamis setiap hari Jumat. Dan kewajiban menggunakan batik ciamisan tersebut tak hanya berlaku di markas besar Pemkab Ciamis saja tetapi juga sampai ke kecamatan dan desa. Pada waktu itu, H. Otong Kartiman pun kebanjiran pesanan batik ciamisan.
Sekarang H. Otong Kartiman kembali menjalani usahanya dengan fokus utama pada batik cap atau printing untuk memenuhi permintaan pasar Tanah Abang, Surabaya dan Makassar. H. Otong dengan Bintang Pusaka nya kini memproduksi batik printing sesuai dengan keinginan pasar termasuk memenuhi permintaan batik untuk seragam sekolah. Sementara memproduksi batik tulis khas ciamis jarang dilakukan karena jarang yang memesan.
Tetapi bila ada pemesan, H. Otong dengan para penulis batik siap melayani pesanan meski butuh waktu yang lama dan harganya tentu lebih mahal. Usaha H Otong, kini diteruskan anak keduannya, Pepep Uking (49). (andri m dani)
link
0 komentar:
Post a Comment