Briket Organik dari Jenderal Sampah Ciamis

Saat berkendara dari Bandung menuju Pantai Pangandaran, Anda akan melewati berbagai lokasi di Kabupaten Ciamis. Di sana mulai dari atas perbukitan sampai pantai, rimbun pohon kelapa tidak putus.

Ciamis memang selayaknya Minahasa Utara yang dijuluki Negeri Nyiur Melambai. Namun, di Ciamis, rimbun kelapa tidak berubah jadi kue lezat klapertaart, tapi menumbuhkan industri arang dan tapas kelapa.

Arang dibuat dari tempurung, sedangkan tapas atau serabut diambil dari batang pohon kelapa yang kemudian diolah untuk industri jok. Sekian lama berjalan, industri ini bukan hanya menjadi tumpuan penghidupan, melainkan juga membawa persoalan lingkungan. Limbah pembakaran arang, sisa ayakan tapas (awul) dan potongan-potongan kayu menggunung di beberapa tempat.

Salah satunya ada di Desa Bojong Mengger, Kecamatan Bojong, Kabupaten Ciamis. Awul atau limbah dari ayakan serabut tapas menggunung di sisi jalan desa itu. Membentuk tanggul oranye setinggi 1,5 m. Beberapa kilometer dari situ terdapat pembakaran kayu sisa industri kayu lapis. Lalu di tempat industri arang tempurung kelapa, limbah sisa pembakaran arang menumpuk di samping tungku.

Limbah serabut tapas (awul) di Desa Bojong Mengger, Kabupaten Ciamis, sebagai bahan mentah briket [foto:media-indonesia]

Kondisi itulah yang coba diperbaiki Ujang Solihin sejak 2006. Anggota Korem 062 Taruma Negara TNI-AD ini melihat potensi energi alternatif dari limbah-limbah itu. Ujang pun mengolah awul, limbah arang tempurung kelapa dan sampah kering lainnya menjadi briket arang. Kini pria berusia 42 tahun ini menghasilkan ratusan ton limbah per bulannya. Usahanya ini sekaligus mengantarkannya menjadi penerima Kalpataru 2010 kategori perintis lingkungan hidup.

Bermacam Limbah

Saat ditemui di tempat usahanya di Desa Cimaragas yang terletak di perbatasan Ciamis-Banjar, Ujang menunjukkan puluhan kilogram briket arang yang sudah jadi.

Seorang pekerja sedang menjemur briket untuk memperoleh hasil yang optimal [Foto:media-indonesia]

Pria yang sekarang berpangkat sersan dua tersebut sudah bisa memproduksi 2 ton briket seharinya. Jumlah itu berarti pula mengurangi 6 ton awul dan 300 ton limbah arang tempurung kelapa tiap bulannya. Briket-briket itu pun sudah ditunggu industri, salah satunya perusahaan teh di Takokak, Cianjur, yang memakainya untuk mengeringkan teh.

Pencipta briket bahan baku organik, Ujang Solihin, memperlihatkan hasil produksinya [Foto: media-indonesia]

Namun, sukses usaha pengolahan limbah ini bukan cerita singkat. Ayah tiga anak ini menuturkan pada awalnya ia hanya ingin memberi energi alternatif untuk dapur warga. Dari tugasnya di daerah Tasik pada akhir 90-an, Ujang sering melihat serbuk kayu sisa industri kelom digunakan untuk memasak. Namun, cara masak itu tidak efisien karena pembakaran tidak rata dan menimbulkan asap ketika serbuk jatuh. “Saya ingin membuatnya praktis agar bisa dimanfaatkan orang banyak,” tutur pria lulusan STM ini.

Dari berbagai informasi, pria yang juga pernah merancang PLTA mikrohidro di desa lain ini kemudian belajar soal briket dan mulai mencoba dengan berbagai bahan. Pada 2003, Ujang berhasil membuat produk briket daun mangga dan ranting pohon. Kerja Ujang itu ditanggapi Dinas Pertambangan dan Energi Lingkungan Hidup Ciamis dan difasilitasi untuk pengembangannya.

Dari situlah ia menemukan formulasi untuk berbagai nilai kalor (panas). Dari situ pula Ujang menemukan briket bisa dibuat dari berbagai limbah organik termasuk sekam padi, tongkol jagung, janur kelapa sampai eceng gondok. “Semua bahan organik ternyata bisa dijadikan briket. Karena itu pula saya namakan briket organik,” kata Ujang yang pernah dikirimi sampah dari TPA Handapherang, Ciamis, untuk uji coba.

Begitu pun untuk usahanya sekarang ini, bahan baku yang digunakan masih terbatas pada awul, limbah arang tempurung kelapa, daun serta ranting dan bambu kering. Tiga bahan terakhir dikumpulkannya dari sampah kebun warga sekitar. Ujang menjamin bahan baku itu tidak didapat dari pe nebangan liar karena harga belinya yang murah. "Kalau bukan sampah, tidak mungkin dikirim ke sini karena mereka pasti rugi,” tukasnya.

Setara Batu Bara

Proses pembuatan briket made in Ujang ini sama dengan briket umumnya. Namun, setiap bahan baku diarangkan terpisah. Setelah jadi, arang digiling dan baru dicampurkan dengan arang lainnya dengan penambahan tepung kanji. Komposisi setiap arang tergantung pada besarnya kalor yang ingin dihasilkan. "Kita bisa bikin mulai dari yang kalor 1.000 sampai 7.000," ujarnya.

Ucapan Ujang bukan isapan jempol. Dari hasil uji di laboratorium Sucofi ndo pada 2009 tercatat kandungan kalori briket produksinya mencapai 6.500 Kkal/kg yang berarti setara dengan umumnya nilai kalor batu bara lokal. Nilai kalor tinggi itu dihasilkan dari penggunaan awul, limbah arang tempurung kelapa, kayu, dan bambu. Sementara itu, bahan baku yang nilai kalornya kecil adalah daun dan sampah organik basah.

Kendati demikian Ujang meyakinkan dirinya tidak anti terhadap sampah berkalori kecil. “Seperti orang ngecor kan enggak semen semua. Saya juga begitu karena memang tujuannya memanfaatkan semua limbah,” tutur pria asli Ciamis ini.

Untuk proses masak, briket ini tampak cukup bisa diandalkan. Sebagaimana didemonstrasikan hari itu dengan menggunakan kompor khusus yang dirancang Ujang, meski tidak berwarna biru, nyala apinya cukup besar. Camilan pisang goreng yang dimasak pekerjanya, matang dalam waktu sekitar 15 menit.

Kompor Briket

Satu kilogram briket bisa digunakan masak selama 4 jam. Untuk mematikan arang, pasokan oksigen dihentikan dengan menutup kompor menggunakan kaleng cat ukuran besar. Sayang, di kalangan warga, briket ini tampak belum digemari. Baru sedikit orang yang memanfaatkan briket yang dijual Rp 2.400/kg dengan nilai kalori 5.000-6.500 Kkal/kg ini.

Padahal dengan berlimpahnya limbah awul dan arang tempurung, kemandirian energi warga Ciamis bisa dirintis. Dari situ pula masalah lingkungan dari industri serabut dan tempurung bisa dikurangi.***(Bintang Krisanti/M-1/miweekend(at)mediaindonesia.com)

sumber: http://infokito.net

0 komentar:

Post a Comment