Mengenang Sosok Iwa Koesoema Soemantri, Tokoh Pahlawan Kelahiran Ciamis

Laman CiamisManis.com nujuu ngupayakeun ngempelkeun artikel-artikel ngeunaan para inohong atanapi tokoh anu bibit buitna atanapi asalna ti wewengkon Ciamis. Mugia aya guna mangpaatna, aya pulunganeunana kangge urang sadaya.

Iwa Koesoema Soemantri, Tokoh Hukum Penggagas 'Proklamasi'

Bagi Anda yang pernah menimba ilmu di Universitas Padjadjaran (Unpad) atau melintas di depan kampus Universitas Padjadjaran, Bandung barang kali tak asing dengan nama Iwa Koesoema Soemantri. Setidaknya Anda mengetahui nama Iwa sebagai nama kampus Unpad yang terletak di Jalan Dipati Ukur, Bandung itu. Maklum Unpad memang memiliki beberapa kampus. Selain tersebar di beberapa lokasi di kota Bandung, Unpad juga memiliki kampus di Jatinangor, Sumedang.

Kembali ke cerita Iwa Koesoema Soemantri. Meski namanya diabadikan sebagai nama kampus, namun warga Unpad banyak yang tak mengenal lebih jauh siapa Iwa. Yang mereka tahu, Iwa adalah Presiden (kini biasa disebut sebagai Rektor) Unpad yang pertama.

Boleh jadi tak banyak yang mengetahui siapa dan apa yang telah Iwa berikan bagi negeri ini? Bisa jadi tak banyak pula yang tahu bahwa Iwa memiliki kontribusi dalam proses kemerdekaan negeri ini. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam mencatat Iwa lah yang mengusulkan pemakaian nama ‘Proklamasi’ dalam naskah yang dibacakan Soekarno-Hatta mengatasnamakan rakyat Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya Soekarno hendak menamai teks itu dengan kata ‘Maklumat’.

Iwa adalah menak sunda asal Ciamis yang dilahirkan pada 30 Mei 1899. Ayah Iwa, Raden Wiramantri adalah Kepala Sekolah Rendah yang kemudian menjadi pemilik sekolah (school opziener) di Ciamis. Lahir dan dibesarkan dalam lingkungan itu, Iwa beruntung bisa mengecap pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk anak-anak kalangan menak pribumi yang menggunakan pengantar bahasa Belanda.

Pernah setahun belajar di sekolah calon ambtenaar (pegawai pemerintah) di Bandung, Iwa memutuskan keluar dan pindah ke sekolah menengah hukum di Batavia. Setelah tamat, Iwa bekerja pada kantor Pengadilan Negeri di Bandung sebelum pindah ke Surabaya dan berakhir di Jakarta. Pada tahun 1922, Iwa melanjutkan studi hukumnya ke Universitas Leiden Belanda.

Pada saat kuliah di Belanda, Iwa aktif terlibat di Indische Vereeniging yang berubah menjadi Indonesische Vereeniging dan terakhir berubah lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Iwa bahkan tercatat menjadi ketua organisasi itu pada 1923-1924. Pada masa kepemimpinannya, Iwa meletakkan prinsip nonkooperasi sebagai asas organisasi.

Usai menamatkan kuliah, Iwa dan Semaun diutus oleh PI pergi ke Moscow untuk mempelajari Front Persatuan (Eenheidsfront) yang didengungkan oleh Komintern, semacam organisasi komunis internasional. Di satu sisi Iwa memang tertarik mempelajari sosialisme, tapi tidak untuk komunisme.

Kembali ke tanah air pada 1927, Iwa sempat bekerja di Bandung. Tak lama kemudia ia diminta pamannya membuka kantor pengacara di Medan. Di sana, Iwa tetap aktif dalam pergerakan dengan membuat surat kabar Matahari Indonesia serta mendekati kaum buruh dan tani yang tertindas. Iwa juga disebutkan pernah mendirikan SKBI (Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia) cabang Medan. Lantaran memiliki afiliasi dengan Moscow dan Komintern, para pemimpin SKBI ditangkap dan diasingkan. Termasuk juga Iwa yang pada Juni 1930 dibuang ke Bandanaira dan Makassar selama 10 tahun.

Ketika Jepang menaklukan Belanda, Iwa akhirnya dibebaskan. Jepang sempat mengangkat Iwa sebagai hakim Keizei Hooin (Pengadilan Kepolisian) Makassar. Tak lama setelah itu, Iwa akhirnya kembali membuka praktek sebagai pengacara di Jakarta.

Perjalanan hidup Iwa selanjutnya adalah saat dirinya diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia bersama tokoh lain seperti Latuharhary dan Soepomo. Dalam sidang PPKI, Iwa adalah salah seorang yang berpandangan rancangan UUD 1945 adalah konstitusi yang lahir dalam keadaan darurat dan sangat mungkin untuk diperbaiki. Makanya Iwa mengusulkan agar dimasukkan satu pasal yang mengatur tentang perubahan UUD 1945. Usul Iwa itu disambut oleh Soepomo. Setelah adanya pembahasan dan perdebatan, maka munculah Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur tentang bagaimana cara untuk mengubah konstitusi.

Setelah merdeka, Iwa didaulat menjadi Menteri Sosial pada kabinet pertama. Tak lama kemudian ia bersama Mohammad Yamin, Soebardjo dan Tan Malaka sempat ditahan karena dianggap terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946.

Meski sempat ditahan atas tuduhan ‘kudeta’ Iwa masih dipercaya Soekarno untuk menduduki jabatan Menteri Pertahanan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo (1953-1955). Saat itu Fraksi Masyumi pernah mengajukan mosi kepada Iwa lantaran dituduh sebagai seorang komunis dan adanya upaya kudeta oleh Angkatan Perang Republik Indonesia. Boleh jadi karena dua tuduhan itu Iwa memutuskan mengundurkan diri dari kursi Menteri Pertahanan.

Pada 1957, Iwa diangkat menjadi Presiden Unpad. Lalu pada tahun 1961 diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Di pemerintahan, karir terakhirnya adalah sebagai Menteri Negara pada Kabinet Kerja IV (1963-1964) dan Kabinet Dwikora I (1964-1966). Iwa meninggal pada 27 September 1971 karena penyakit jantung.

Meski jasa-jasa Iwa terhadap negeri ini tak sedikit, pemerintah orde baru tak langsung menyematkan gelar pahlawan kepadanya. Baru kemudian pada masa pemerintahan Megawati, Iwa ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Sumber: Seratan FelerosXjunk di Kaskus (kantun aya rekamanana di tembolok Google)

0 komentar:

Post a Comment