Rangginang Yang Selalu Dikenang

Lebaran hampir selalu pasti berarti pulang mudik ke kampung halaman. Belum ada angka pasti berapa ribu jiwa orang Ciamis yang mengalir menuju desanya masing-masing di setiap Lebaran, tetapi jumlahnya dapat dipastikan cukup banyak. Hari raya merupakan kesempatan mereka melepas rindu dengan kampung halaman, merasakan kenikmatan silaturahmi atau sekedar menengok tanah leluhur.

Hari-hari di sekitar lebaran di Ciamis biasa diisi oleh saling kunjung mengunjungi kerabat dan handai taulan. Kadang itu berarti keliling kampung seharian atau melintas desa lain, tak lupa menziarahi makam orang tua atau leluhur.

Keramahan tuan rumah yang dikunjungi biasanya selalu dilengkapi dengan sajian makanan khas suasana Idul Fitri, seperti kacang goreng, saroja, rangginang, opak, wajit dan sebagainya. Makanan yang disebut adalah sebagian diantara kuliner tradisional Ciamis, diluar berbagai snack modern buatan pabrik yang juga sekarang lazim disajikan.


Rangginang adalah makanan sejenis kerupuk yang berbahan dasar beras ketan yang digoreng. Sebenarnya rangginang atau yang juga biasa disebut ranginang merupakan makanan yang terdapat di banyak tempat di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Rasa dan bentuknya mungkin berbeda di tempat-tempat tertentu, sesuai citarasa dan selera pembuatnya. Rangginang terkecil dapat berdiameter sekitar 3 cm, dan yang terbesar dapat mencapai 10 cm. Kini bahkan ada juga yang membuat 'rangginang raksasa' yang membuat tersenyum mereka yang melihatnya. Umumnya rangginang terbagi menjadi yang memiliki rasa manis atau rasa asin.

Rangginang Ciamis adalalah kuliner tradisi yang disajikan di rumah ketika menjamu tamu atau pada saat ada event 'kariaan' semacam pernikahan, sunatan, dan lain-lain. Makanan ini dapat dinikmati langsung, dan kopi panas merupakan sahabat kental yang sangat cocok menemani kehadiran rangginang. Cara lain menikmati rangginang adalah dengan menjadikannya sebagai pelengkap makan nasi, karena sebenarnya secara umum termasuk kedalam keluarga kerupuk. Ada juga yang menjadikan rangginang sebagai alasan untuk tetap menyuapkan rujak pedas kedalam mulutnya dan rasanya -konon- tidak mengecewakan.

Rangginang Ciamis biasanya memiliki rasa asin dan gurih, terasa renyah di mulut dan membuat ketagihan. Jika proses pembuatan kurang baik, rasa ranggingang yang dihasilkan mungkin kurang mantap, atau beras ketannya terasa keras sehingga menghentikan 'proses penggilingan' :)

Rangginang dibuat dari beras ketan yang dibumbui dan ditanak setengah matang, lalu dikeringkan dan akhirnya digoreng. Komposisi bumbu akan tergantung pada pembuatnya, dan untuk rangginang asin tentunya membutuhkan garam, bawang putih dan lain-lainnya. Kadang ada juga yang menambahkan terasi sebagai aksen rasa rangginang. Rangginang manis tentu saja membutuhkan gula sebagai komponen bumbu yang utama.

Proses memasak beras ketan tidak boleh sampai benar-benar masak, melainkan secukupnya saja. Bahan tersebut kemudian dicetak dengan ukuran yang dikehendaki. Pembuat rangginang rumahan di perkampungan Ciamis kadang menggunakan tangan saja untuk mereka bentuk rangginang, tetapi penggunaan cetakan sederahana dari bahan bambu juga dapat digunakan. Peralatan cetak di pabrik rangginang tentunya lebih canggih lagi.


Bahan rangginang yang masih mentah ini kemudian disimpan diatas anyaman bambu berupa 'nyiru' atau tampah bundar, atau alat sejenisnya, untuk dijemur dibawah sinar matahari langsung hingga kering. Proses pengeringan harus benar-benar sempurna, agar ranggingang memiliki rasa 'kriuk' dan crunchy istimewa.

Rangginang mentah yang sudah kering dapat langsung digoreng, atau dapat pula disimpan lebih dulu untuk jangka waktu tertentu. Bahan tersebut baru digoreng pada saat dibutuhkan. Rangginang harus ditiriskan dulu dari sisa minyak, agar tidak mengganggu di lidah pada saat dihantam gigi. Kenikmatan rangginang memang khas, dan buat orang Ciamis di perantauan, yang satu ini memang tidak tergantikan.

Ranggingang dapat dikatakan sebagai metode masyarakat Ciamis, atau Jawa Barat pada umumnya untuk menyimpan cadangan pangan yang sudah diproses dan dapat diolah setiap saat dengan cara digoreng.

Kehadiran makanan tradisi layak mendapat apresiasi, karena masyarakat sekarang makin menunjukkan pola hidup serba praktis dan cepat. Suguhan air minum yang dulu diolah mendadak pun sekarang cukup mengandalkan air mineral ukuran gelas. Makanan dan minuman yang 'beribet' dalam pengolahan dan penyajian mulai ditinggalkan, padahal di satu sisi kerepotan tersebut konon adalah sumber nilai memuliakan tamu.

(by CiamisManis.com/ref: Opaztea's Weblog)

0 komentar:

Post a Comment